Candi Brahu Jejak Sejarah dan Arsitektur Megah di Trowulan!
Candi Brahu adalah salah satu situs bersejarah yang terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, dan merupakan salah satu peninggalan dari kerajaan Majapahit.
Keberadaan candi ini tidak hanya mengungkapkan keindahan arsitektur yang megah, tetapi juga menyimpan berbagai nilai historis dan budaya yang kaya. ALL ABOUT JAWA TIMUR akan membahas secara mendalam mengenai sejarah Candi Brahu, arsitektur, fungsinya dalam kehidupan masyarakat Majapahit, serta upaya yang dilakukan untuk melestarikannya.
Asal Usul dan Penemuan
Candi Brahu diperkirakan dibangun pada abad ke-15 dan merupakan salah satu dari sedikit candi yang masih tersisa di kawasan Trowulan. Candi ini dikhususkan sebagai tempat persemayaman dan mungkin juga berfungsi sebagai tempat kremasi bagi raja-raja Majapahit, meskipun tidak ada bukti langsung seperti sisa-sisa abu yang ditemukan di lokasi ini. Nama “Brahu” sendiri berpotensi berasal dari kata “Wanaru” atau “Warahu,” yang tertulis dalam sebuah prasasti kuno.
Sejak penemuan kembali dan pengakuan terhadap Candi Brahu, berbagai upaya restorasi telah dilakukan untuk memastikan kelangsungan dan pelestarian candi ini. Pemerintah Indonesia, bersama dengan lembaga arkeologi, telah melakukan berbagai penelitian dan perbaikan sejak tahun 1990 hingga 1995, berupaya untuk mengembalikan candi ke bentuk semula. Upaya ini termasuk memperkuat struktur bata dan melakukan pemeliharaan reguler agar candi tetap terawat dengan baik.
Keberadaan candi ini mulai diperhatikan kembali pada abad ke-19, saat arkeolog, termasuk Raffles, menemukan berbagai reruntuhan di sekitar Trowulan. Raffles menyebut daerah itu sebagai “pride of Java,” mendorong minat lebih besar terhadap penemuan arkeologis di kawasan tersebut.
Signifikansi Budaya dan Religius
Candi Brahu diyakini sebagai salah satu tempat suci bagi masyarakat Majapahit. Penggambaran ritual dan upacara yang berlangsung di candi ini menunjukkan bahwa candi memiliki nilai penting dalam kehidupan spiritual masyarakat. Dalam tradisi lokal, percaya bahwa banyak raja dan bangsawan yang dimakamkan di sekitar kompleks candi ini, menyiratkan pentingnya peran candi dalam sejarah kerajaan.
Candi Brahu memiliki tinggi sekitar 20 meter dan dibangun dari batu bata merah yang memperlihatkan karakteristik arsitektur khas Majapahit. Luas dasar candi adalah 18 x 22,5 meter, dan, meskipun bagian atasnya tidak utuh, struktur bangunannya masih memancarkan kemegahan desain yang dirancang untuk menampung sekitar 30 orang. Arsitektur candi ini terciri dengan bentuk yang tidak sepenuhnya persegi, serta atap yang membentuk sudut yang besar dengan puncak datar, membedakannya dari candi lainnya di Jawa.
Penerapan teknik bangunan yang canggih terlihat melalui penggunaan lapisan bata dengan panjang dan lebar yang berbeda, menciptakan efek visual yang menarik pada bagian pertengahan bangunan. Sayangnya, candi ini tidak memiliki relief atau ukiran di fasadnya, menjadikannya lebih sederhana dibandingkan dengan candi lain yang berfungsi serupa.
Pengaruh Arsitektur
Satu aspek menarik dari Candi Brahu adalah kemiripannya dengan candi-candi Buddha, meskipun tidak ada patung Buddha yang ditemukan di lokasi tersebut. Arsitektur Candi Brahu sering dibandingkan dengan Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus, yang juga terletak di Trowulan dan menunjukkan pengaruh desain yang sama, tetapi dengan ciri khas masing-masing candi Brahu diyakini telah berfungsi sebagai stupa yang besar, menunjang anggapan bahwa candi ini berkaitan erat dengan praktik pemujaan Budha di masa lalu.
Candi Brahu dikaitkan dengan tradisi kremasi raja dan kerabatnya. Sejarah mencatat bahwa setelah upacara kremasi, jenazah biasanya dibawa ke candi untuk dihormati sebelum dikuburkan. Candi ini mungkin berperan sebagai simbol transisi kehidupan dari dunia nyata menuju kehidupan setelah mati. Menyiratkan bahwa penghormatan tersebut adalah bagian dari siklus kehidupan masyarakat Majapahit.
Sebagian besar candi di Trowulan saling berhubungan, dengan fungsi spesifik. Misalnya, Candi Gentong berdekatan dengan Candi Brahu, di mana Gentong lebih dikenal sebagai tempat mandi raja dan bahan pembersih ritual sebelum perayaan besar dilakukan di Brahu. Konsep bahwa berbagai candi di area itu berfungsi kolektif menjadikan mereka kunci untuk memahami struktur sosial dan spiritual Majapahit.
Dalam beberapa dekade terakhir, Candi Brahu menghadapi tantangan signifikan, termasuk kerusakan akibat cuaca dan penurunan perhatian masyarakat terhadap situs-situs bersejarah. Stuktur bata yang digunakan untuk membangun candi lebih rentan terhadap dampak lingkungan, dan penyalahgunaan seperti vandalisme kadang terjadi. Keberadaan tanaman liar dan akumulasi sedimen yang disebabkan oleh musim hujan juga dapat mempercepat kerusakan struktur candi.
Baca Juga: Menelusuri Sejarah dan Peninggalan Budaya Candi di Jawa Timur
Pariwisata Budaya
Sejak penemuan kembali dan pengakuan terhadap Candi Brahu, berbagai upaya restorasi telah dilakukan untuk memastikan kelangsungan dan pelestarian candi ini.
Pemerintah Indonesia, bersama dengan lembaga arkeologi, telah melakukan berbagai penelitian dan perbaikan sejak tahun 1990 hingga 1995, berupaya untuk mengembalikan candi ke bentuk semula. Upaya ini termasuk memperkuat struktur bata dan melakukan pemeliharaan reguler agar candi tetap terawat dengan baik.
Candi Brahu tidak hanya berfungsi sebagai jendela menuju masa lalu, melainkan juga sebagai komponen penting dalam industri pariwisata di Trowulan.
Kehadirannya menarik banyak pengunjung, baik lokal maupun manca negara, dan berkontribusi pada perekonomian masyarakat. Usaha komunitas lokal, seperti homestay dan warung makan, telah muncul seiring meningkatnya kunjungan wisatawan, yang memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk.
Selain dampak ekonomi, Candi Brahu berperan sebagai pusat pendidikan budaya bagi generasi muda. Banyak sekolah dan organisasi yang mengadakan kegiatan edukasi dan pelatihan untuk anak-anak mengenai sejarah dan budaya Majapahit di sekitar candi ini. Ini penting agar generasi mendatang dapat menghargai dan melestarikan warisan budaya mereka.
Kesimpulan
Candi Brahu adalah lambang megah dari warisan budaya dan sejarah Majapahit. Yang perlu dilestarikan keberadaannya mengungkapkan tidak hanya tentang arsitektur yang menakjubkan tetapi juga cerita dari peradaban yang pernah ladu dalam.
Sejarah Indonesia dalam pelestarian dan pengembangannya, kolaborasi antara pemerintah, arkeolog. Dan masyarakat setempat sangat penting untuk memastikan bahwa Candi Brahu terus menjadi sumber pengetahuan dan kebanggaan bagi bangsa.
Dengan menjaga candi ini, bukan hanya warisan sejarah yang terjaga, tetapi juga identitas dan nilai-nilai budaya. Yang ada dalam masyarakat Indonesia dapat terus hidup bagi generasi yang akan datang. Mari kita dukung upaya pelestarian Candi Brahu dan menjadikannya sebagai destinasi pertunjukan budaya yang menarik dan edukatif untuk dikunjungi.
Candi Brahu tidak hanya berfungsi sebagai jendela menuju masa lalu, melainkan juga sebagai komponen penting dalam industri pariwisata di Trowulan.
Kehadirannya menarik banyak pengunjung, baik lokal maupun manca negara, dan berkontribusi pada perekonomian masyarakat. Usaha komunitas lokal, seperti homestay dan warung makan, telah muncul seiring meningkatnya kunjungan wisatawan, yang memberikan pendapatan tambahan bagi penduduk.
Dalam beberapa dekade terakhir, Candi Brahu menghadapi tantangan signifikan, termasuk kerusakan akibat cuaca dan penurunan perhatian masyarakat terhadap situs-situs bersejarah.
Stuktur bata yang digunakan untuk membangun candi lebih rentan terhadap dampak lingkungan, dan penyalahgunaan seperti vandalisme kadang terjadi.
Buat kalian yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai Jawa Timur, baik dari tradisi, suku, budaya, kehidupan sehari-hari, wisata, dan kuliner, anda bisa kunjungi ALL ABOUT JAWA TIMUR.